Sebuah kantor penegak hukum di Negeri Entah Berantah mendadak menjadi sorotan setelah memamerkan tumpukan uang dalam jumlah fantastis kepada publik. Uang tersebut disusun rapi di atas meja panjang, difoto dari berbagai sudut, dan ditampilkan seolah-olah sedang mengikuti lomba estetika barang bukti. Pesannya jelas: negara bekerja, uang aman, silakan kagum.
Pameran ini digelar dengan penuh percaya diri. Pejabat berdiri tegak, wajah serius, tangan dilipat, seakan mengatakan bahwa semua ini adalah hasil kerja keras, bukan hasil kerasnya godaan. Kamera berderap, kilatan lampu menyambar, dan publik pun sibuk menghitung nol sambil bertanya dalam hati, "Ini uang siapa sebelum jadi milik negara?"
Menariknya, para pegawai di sekitar lokasi pamer uang tampak menjaga jarak pandang. Beberapa memilih menatap lantai, sebagian lain mengalihkan perhatian ke langit-langit, dan sisanya terlihat sibuk menyesuaikan fokus mata agar tidak terlihat terlalu tertarik. Sikap ini disebut sebagai bentuk profesionalisme tingkat tinggi: melihat tanpa melihat.
Menurut keterangan resmi, uang tersebut merupakan barang bukti hasil penegakan hukum yang sukses. Namun keberhasilan itu justru menimbulkan dilema visual. Terlalu lama menatap uang bisa memunculkan prasangka, terlalu cepat berpaling bisa terlihat tidak menghargai kerja tim. Maka solusi terbaik adalah menutup mata batin, sambil membuka mata administratif.
Di media sosial, unggahan foto tumpukan uang langsung ramai. Warganet terbagi dua: kelompok yang bangga karena hukum bekerja, dan kelompok yang refleks membuka kalkulator. Ada pula yang fokus pada detail kecil, seperti jenis tas, warna ikat uang, hingga ekspresi pegawai yang berdiri paling dekat namun tampak paling tidak melihat.
Para pengamat menilai pameran ini sebagai bentuk transparansi modern. Bukan transparansi proses, melainkan transparansi visual. Publik diperlihatkan hasil akhir tanpa harus repot memahami jalan berliku di baliknya. Uang ditata, difoto, lalu dipercaya.
Sementara itu, di internal kantor, aktivitas berjalan normal. Rapat tetap panjang, kopi tetap pahit, dan diskusi tetap formal. Hanya saja, sejak pameran itu, ada kesepakatan tak tertulis: jika melewati ruangan tempat uang dipamerkan, jangan terlalu menoleh. Bukan karena takut, tapi karena menjaga kewarasan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di Negeri Entah Berantah, hukum tidak hanya ditegakkan, tapi juga dipamerkan. Uang bukan sekadar barang bukti, melainkan simbol. Simbol kerja, simbol keberhasilan, dan bagi sebagian orang, simbol ujian iman yang sebaiknya dilihat seperlunya saja.