Seorang wisudawan terbaik Institut Agama Islam (IAI) Tebo yang berhasil meraih IPK nyaris sempurna, 3,99, kini tengah bersiap menghadapi ujian hidup yang oleh banyak orang disebut lebih menantang dari skripsi: pernikahan. Jika selama ini ia dikenal piawai menaklukkan dosen penguji, sebulan ke depan ia akan resmi diuji oleh realitas rumah tangga tanpa kisi-kisi.
Prestasi akademiknya sontak menuai pujian. IPK 3,99 dianggap sebagai bukti kecerdasan, kedisiplinan, dan kemampuan menghindari konflik dengan dosen pembimbing. Banyak yang menyebut capaian ini nyaris mustahil, kecuali bagi mereka yang rajin, sabar, dan punya mental baja saat revisi tak kunjung selesai. Namun semua pujian itu kini diiringi satu kalimat tambahan yang nadanya berubah: "Sebulan lagi menikah, ya?"
Di lingkungan kampus, kabar pernikahan ini langsung menimbulkan diskusi serius. Sebagian teman menganggapnya sebagai kelanjutan logis dari hidup mapan: lulus terbaik, lalu menikah. Sebagian lain memandangnya sebagai loncatan ekstrem dari dunia teori ke praktik paling nyata. Jika selama kuliah ia berhadapan dengan deadline, setelah menikah ia akan berhadapan dengan ekspektasi.
Wisudawan ini sendiri terlihat tenang. Dengan IPK 3,99, ia diyakini mampu mengatur segalanya secara sistematis. Jadwal, anggaran, bahkan konflik rumah tangga, dipercaya bisa diselesaikan dengan pendekatan akademis. Sayangnya, tidak semua persoalan pernikahan bisa diselesaikan dengan footnote dan daftar pustaka.
Para dosen turut memberi ucapan selamat, meski beberapa di antaranya menyelipkan nasihat yang terdengar lebih seperti peringatan. "Ilmu itu penting, tapi sabar jauh lebih penting," ujar salah satu dosen sambil tersenyum penuh makna. Wisudawan tersebut mengangguk, mungkin sambil mengingat bahwa sabar tidak pernah diajarkan sebagai mata kuliah wajib.
Di media sosial, kabar ini mendapat respons beragam. Ada yang bangga, ada yang kagum, ada pula yang berkomentar singkat namun pedas: "IPK tinggi, semoga realitas nggak terlalu keras." Komentar itu langsung disukai banyak orang, menandakan bahwa publik sepakat pernikahan adalah ujian lintas jurusan.
Dengan waktu sebulan ke depan, fokus wisudawan terbaik ini pun bergeser. Jika sebelumnya pikirannya dipenuhi indeks prestasi dan transkrip nilai, kini ia harus memikirkan hal-hal baru: biaya, tanggung jawab, dan kalimat "terserah" yang konon tidak tercantum di buku panduan mana pun.
Kisah ini menjadi bukti bahwa setinggi apa pun prestasi akademik, hidup selalu punya level lanjutan. Setelah toga dilepas, ujian baru dimulai. IPK 3,99 sudah cukup untuk wisuda terbaik, tapi untuk pernikahan, nilainya akan dihitung harian, tanpa remedial.