Dengan besaran gaji sekitar Rp500 ribu per bulan, Pemerintah Kabupaten Kerinci akhirnya menemukan solusi visioner bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja Paruh Waktu (P3K-PW): intermittent fasting. Bukan sebagai tren gaya hidup sehat ala influencer, melainkan sebagai strategi bertahan hidup yang realistis, murah, dan tidak membutuhkan anggaran tambahan.
Dalam narasi resmi yang terdengar menenangkan, pihak **Pemerintah Kabupaten Kerinci** menyarankan agar para P3K-PW pandai mengatur pola makan. Konsepnya sederhana, makan tidak harus sering, yang penting niatnya kuat. Dengan begitu, gaji tetap utuh, perut tetap kosong, dan pengeluaran bisa ditekan secara spiritual.
Intermittent fasting versi ini tentu berbeda dengan yang dikenal publik. Jika biasanya metode ini dipilih demi kesehatan dan kebugaran, di Kerinci ia hadir sebagai konsekuensi logis dari slip gaji. Jam makan fleksibel, tergantung sisa saldo dan kekuatan iman. Bonusnya, pegawai bisa merasakan sensasi diet ekstrem tanpa harus mendaftar program apa pun.
Para P3K-PW sendiri menyambut kebijakan ini dengan berbagai reaksi. Ada yang mencoba berpikir positif, menganggap ini sebagai kesempatan hidup minimalis. Ada pula yang mulai menghitung ulang, bukan kalori, melainkan hari menuju gajian berikutnya. Dalam hitungan kasar, Rp500 ribu dibagi 30 hari menghasilkan menu imajiner yang lebih sering dinikmati lewat doa.
Di lingkungan kantor, suasana makan siang pun berubah drastis. Kantin tampak lebih lengang, obrolan tentang menu digantikan diskusi strategi bertahan. Air putih naik kasta menjadi konsumsi utama, sementara nasi mulai diperlakukan seperti barang mewah. Beberapa pegawai bahkan mengaku sudah hafal rasa lapar dan menjadikannya teman setia selama jam kerja.
Ironisnya, di tengah keterbatasan itu, tuntutan kinerja tetap berjalan normal. Administrasi harus rapi, laporan harus tepat waktu, dan senyum tetap diwajibkan. Perut boleh kosong, tapi etos kerja tidak boleh defisit. Sebuah latihan profesionalisme tingkat tinggi yang jarang diajarkan di pelatihan manajemen mana pun.
Bagi pemerintah daerah, saran intermittent fasting ini dianggap lebih elegan daripada sekadar mengakui keterbatasan anggaran. Solusi tanpa solusi, kebijakan tanpa biaya. Jika berhasil, pegawai menjadi lebih sehat. Jika tidak, setidaknya mereka sudah terbiasa menahan lapar, sebuah soft skill yang berguna di banyak aspek kehidupan.
Kondisi ini pelan-pelan membentuk realitas baru: bekerja bukan lagi sekadar soal pengabdian, tapi juga soal ketahanan fisik dan mental. Di Kerinci, P3K-PW tak hanya diuji loyalitasnya pada negara, tapi juga kemampuannya bertahan hidup dengan gaji yang bahkan malu menyebut dirinya gaji.