Di sebuah kos berukuran pas-pasan, seorang mahasiswa menatap layar laptopnya dengan penuh harap, seolah menunggu pengumuman kelulusan hidup. Bukan skripsi yang ia tunggu, melainkan jumlah pembaca tulisan yang baru saja ia kirim ke sebuah portal berita. Judulnya sudah "keras", isinya sudah "tajam", dan penutupnya penuh kalimat reflektif. Tinggal satu hal yang belum pasti: apakah ada manusia lain di muka bumi ini yang akan membacanya.
Fenomena mahasiswa gemar mengirim tulisan ke portal berita kini kian marak. Mereka menulis opini, esai, atau "analisis kritis" tentang apa saja—mulai dari isu nasional hingga keresahan pribadi yang dibungkus dengan istilah struktural dan sistemik. Motivasinya beragam, dari ingin menyumbang gagasan, mencari validasi intelektual, hingga sekadar membuktikan kepada grup keluarga bahwa kuliah mereka tidak sia-sia.
Setelah tombol "kirim" ditekan, fase paling sakral pun dimulai: menunggu. Setiap notifikasi email diperiksa dengan seksama. Setiap refresh halaman dilakukan dengan harapan ada nama mereka terpampang di portal berita ternama, lengkap dengan foto profil yang tampak lebih dewasa dari usia asli. Jika tulisan dimuat, langkah berikutnya adalah membagikan tautan ke semua media sosial, disertai caption rendah hati seperti, "Sedikit opini saya tentang kondisi bangsa."
Namun perjuangan tidak berhenti di situ. Harapan sesungguhnya adalah dibaca banyak orang. Bukan hanya dibaca redaksi, tetapi juga netizen, pejabat, akademisi, dan—kalau bisa—mantan gebetan. Jumlah views menjadi ukuran kesuksesan baru, menggantikan IPK yang dulu diagungkan. Sepuluh pembaca terasa menyedihkan, seratus pembaca mulai membanggakan, dan seribu pembaca dianggap bukti bahwa gagasan mereka "relevan dengan kondisi masyarakat."
Ironisnya, realitas sering tidak seindah ekspektasi. Banyak tulisan berakhir sepi, hanya dibaca penulisnya sendiri dan satu orang teman yang diminta tolong lewat chat pribadi. Namun semangat tak mudah padam. Mahasiswa penulis opini percaya bahwa suatu hari nanti, tulisannya akan viral, dikutip pejabat, atau minimal dijadikan bahan debat di kolom komentar.
Bagi mereka, menulis di portal berita bukan sekadar aktivitas literasi, melainkan ritual eksistensi. Sebuah upaya agar suara mahasiswa tetap terdengar, meski kadang hanya bergema di tab browser sendiri. Dan esok hari, dengan keyakinan yang sama, mereka akan kembali menulis, kembali mengirim, dan kembali berharap: semoga kali ini dibaca lebih dari kemarin.