Kenaikan harga emas yang tak kunjung turun kini bukan sekadar kabar baik bagi investor, melainkan mimpi buruk bagi warga yang pernah berutang dengan patokan emas. Dulu emas dipilih karena dianggap stabil, berwibawa, dan terasa lebih syar'i daripada bunga. Kini, emas berubah fungsi menjadi alat olahraga ekstrem bagi mental para pengutang, karena setiap gram yang naik serasa menambah beban napas.
Di warung kopi dan grup WhatsApp keluarga, topik harga emas menjadi bahan obrolan wajib. Bukan lagi soal beli atau jual, melainkan soal bertahan hidup. Mereka yang meminjam "setara 10 gram emas" beberapa tahun lalu kini harus menerima kenyataan bahwa utangnya ikut diet terbalik: makin lama makin berat. Cicilan yang dulu terasa ringan, sekarang cukup untuk menguji keikhlasan dan iman.
Para pemberi pinjaman pun tak kalah galau. Di satu sisi, mereka hanya berpegang pada kesepakatan awal. Di sisi lain, rasa sungkan muncul ketika melihat wajah debitur yang pucat setiap kali harga emas naik lagi. Namun kesepakatan tetap kesepakatan, dan emas tetap emas, bukan perasaan. Maka, empati sering kali berhenti di batas kalkulator.
Ironisnya, sebagian warga dulu memilih patokan emas karena takut inflasi dan ingin "aman". Emas dianggap tidak akan menyakiti siapa pun. Nyatanya, emas hanya setia pada satu hal: nilainya sendiri. Ia tak peduli apakah peminjam sudah ganti pekerjaan, punya anak, atau sedang menunggu gaji cair. Gram tetap gram, harga tetap naik.
Kondisi ini memunculkan strategi bertahan hidup yang kreatif. Ada yang mulai rajin memantau grafik harga emas seperti trader profesional, berharap suatu hari turun walau satu napas. Ada pula yang menunda bayar dengan filosofi pasrah: kalau emas naik pelan-pelan, stresnya bisa dicicil. Beberapa bahkan mulai bercanda bahwa utang emas lebih cocok untuk orang yang sabar, kaya, dan tidak mudah terkejut.
Sementara itu, media sosial dipenuhi unggahan tentang emas sebagai investasi paling aman. Bagi mereka yang berutang, unggahan itu terasa seperti ejekan halus. Setiap postingan "emas tembus harga tertinggi sepanjang sejarah" diterjemahkan sebagai "utang Anda naik lagi, selamat".
Fenomena ini menjadi pelajaran sosial bahwa memilih patokan utang bukan hanya soal teori ekonomi, tapi juga soal kesiapan mental. Emas memang mulia, tapi ketika dijadikan ukuran utang, ia bisa berubah menjadi pengingat harian bahwa keputusan finansial masa lalu punya cara sendiri untuk datang kembali, lengkap dengan grafik dan angka yang terus menanjak.